Sabtu, 29 Oktober 2011

Dialog Dua Mata

Bisakah kita duduk berdua di sebuah tempat yang tenang saat hujan turun atau saat langit mulai menguning karena senja? Tentu. Tapi mengapa saat hujan? Hujan itu menenangkan, yang terkadang melayangkan pikiran dan ingatanku ke suatu masa. Dan mengapa saat senja? Bagiku, senja menjadi pertanda sebuah kepulangan. Lalu untuk apa kita duduk berdua saat hujan atau saat senja? Aku ingin menatapmu dalam tenang. Hanya menatap. Tanpa harus banyak kata. Kadang kata tidaklah berfungsi ketika aku tidak lagi bisa memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang aku rasa. Aku kira, kamu pasti dapat membaca apa yang terpantul dari tatapanku yang dalam, dari mata yang sudah lelah untuk menangis. *** (Suatu sore yang basah karena hujan dan sore yang menguning karena senja) Ya, tentu saja aku dapat membaca apa yang terpantul dari tatapan mu. Apa yang dapat kamu baca dari tatapan mata ku? Apa yang aku lihat dari mata mu, terpantul ke mata ku. Sekarang giliran mu menatap mata ku dalam-dalam. Apa maksud mu? Inilah kita, memang benar apa yang pernah kamu katakan bahwa kata tidaklah berfungsi ketika kamu tidak lagi bisa memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang kamu rasa. Kemudian diam dan tatapan mata adalah bahasa baru. (Mataku berbicara) Maafkanlah aku. Aku menyadari, aku membuat mu pusing karena aku sulit dipahami, banyak maunya dan hal-hal lain yang membuatmu susah. (Matanya berbicara) Aku ingin menjadi jembatan batu yang kokoh, yang dapat kamu jalani tanpa takut jembatan akan runtuh. Apakah menurutmu aku bisa sekuat itu? Aku tidak pernah susah bila di dekatmu. Bila pun terlihat susah, tak pernah karena kamu. (Mataku berbicara) Jembatan batu itu tidak akan runtuh jika yang melewatinya adalah truk biasa yang bermuatan ringan. Jika truk gandeng, pasti tidak akan melewati jembatan batu, ia akan melewati jembatan beton yang disangga besi-besi kuat. *** (Suatu sore lain yang basah karena hujan dan sore yang menguning karena senja) (Matanya berbicara) Jangan pernah pergi, tetaplah pegang tangan ini. (Mataku berbicara) Kita akan selalu bepergian dengan tujuan yang tidak selalu sama, bukan? Dan kita masih akan berpegangan tangan, tentang pulang itu adalah soal takdir. Seperti halnya senja yang sudah ditakdirkan untuk muncul ketika hari mulai gelap, dan yang tidak semua orang menganggapnya sebagai pertanda kepulangan. *** Jember, 25 Oktober 2011

Kamis, 04 Agustus 2011

Salah Satu Keping Impian Ku

Ada pepatah mengatakan “Bermimpilah setinggi mungkin”.
Aku mengamini dengan sangat kalimat tersebut. Setiap orang pasti mempunyai impian. Yang mana impian menjadi semacam hasrat, yang menjadi penyemangat dalam menjalani hari-hari. Kaya-miskin, tua-muda, cantik-kurang cantik, anak gaul-anak 4L4Y, semua boleh bermimpi. Begitu juga aku, aku juga punya mimpi lho. Dan ini adalah salah satu mimpiku. Ketemu Justin Bieber? Bukan. Punya gadget paling canggih? Bukaan. Pengen jadi pacar salah satu personil SM*SH? Bukaaaan juga!
Entah kenapa aku begitu ingin pergi kesana, ke sebuah tempat yang terdapat sebuah menara tertinggi di Paris.
Entah kenapa pula, aku begitu yakin; suatu hari nanti aku pasti kesana.
Aku ingin ke Menara Eiffel.

Jangan pernah merasa mimpimu terlalu tinggi dan tidak akan terwujud. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kita mau berusaha untuk mewujudkan.
Suatu hari *seseorang memberikan petikan kalimat dari Butet Manurung, “Bila kita benar-benar menginginkan sesuatu, maka semesta akan mendukung kita.”
*oo_zaki

makasih mbah Google foto Eiffelnya.

Sabtu, 28 Mei 2011

fiksi bukan fixie


Jangan melacurkan dirimu untuk membuatku bertahan
Itu akan semakin menyakitkan
Dan itu hanya akan membuatku semakin menjauh
Kau pikir aku adalah anak kecil yang akan berhenti merengek ketika diberi lollypop?
Aku itu hanya girang ketika melihatmu, tidak lebih
Aku hanya meliarkan khayalku
Setelah tidak lagi berhasrat aku akan kembali ke dunia nyata
Cacatku adalah tidak pandai menyembunyikan perasaan
Sekian
(Jujur, ocehan diatas fiksi. Bukan karena seonggok daging bernama manusia. Ya, bukan kamu!)

Rabu, 25 Mei 2011

iseng - iseng berhadiah

Alhamdulillah iseng-iseng ikutan lomba on the spot photo contest LA community campus edutainment, dapet juara 3.

Rabu, 18 Mei 2011

curhat tok!


Di dunia ini, hal yang paling saya hindari adalah membuat orang tua khawatir, walaupun saya bukanlah tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Dan saya lumayan tidak betah kalau tidak cerita, tapi yaa tidak semua cerita saya ceritakan. Sebenarnya tanpa banyak berkatapun orang bisa menebak apa yang sedang kita rasakan, karena ekspresi wajah tidak pernah bohong walau sepandai apapun kita mengolah wajah agar terlihat gembira. Okelah, alasan-alasan diatas adalah manusiawi, tapi sekarang apabila sesuatu mutlak tidak bisa dihindari, paling tidak ada usaha untuk meminimalisir.
Memasuki tahap baru  yang saya jalani hampir setahun, saya merasakan banyak hal sejak tinggal jauh dari orang tua. Bagaimana menjaga kepercayaan, bagaimana menghapus kerinduan, bagaimana hidup mandiri, bagaimana mengalokasikan uang kiriman, bagaimana membuat orang tua tersenyum ketika membaca SMS dariku, bagaimana membuat orang tua tidak khawatir dan masih banyak bagaimana-bagaimana yang lainnya.
Frekuensi saya meng-sms orang tua adalah sangat jarang, bukan berarti saya sombong atau melupakan orang tua, karena saya bukan tipe orang yang setiap menit setiap detik mengirim sms untuk memberi tau sedang apa, dimana, dengan siapa dan sedang apa! Apalagi menelfon untuk bercerita panjang lebar dan menangis sesegukan semalaman (Ohh No!!). Saya meng-sms ketika saya sedang beraktifitas yang membuat mereka senang, senang karena mereka tau saya disini tidak hanya ‘pindah tidur’. Haha kadang juga saya tidak ijin kalo lagi ngegembel ke Surabaya, ahhh sumpah saya tidak berniat bohong atau dan lain sebagainya. Saya hanya tidak ingin mereka khawatir, saya tau ini tidak baik. Saya tidak meminta ijin tetapi saya selalu menjaga baik-baik kepercayaan mereka.
Saking kebacutnya saya tidak ingin membuat orang tua khawatir, watu kelas satu SMA saya pernah kecelakaan waktu berangkat sekolah dan kaki kanan saya terluka parah tapi saya tidak mengatakan pada orang tua. Jadi, setiap hari di rumah saya memakai celana trainning panjang. Haha dasar bodoh! Sejauh-jauhnya membuang bangkai akhirnya tercium juga. Suatu hari ketika di kamar, kakak saya yang paling imoet memergoki saya sedang mengobati luka (bagus!), tentu saja dia tidak tinggal diam. Orang tua saya tau dan saya lupa bagaimana reaksi mereka! Haha.
Itu keterbacutan saya ketika SMA, ketika tidak tinggal jauh dari orang tua. Sekarang beda lagi, sudah tinggal jauh dari orang tua. Dan kita mungkin tidak selalu berada ‘on the right track’, tidak masalah ketika kita tau batasan. Yang ada di pikiran saya Cuma satu, saya tidak ingin menambah beban pikiran orang tua. Yah syukur-syukur bisa nyenengin.

Minggu, 24 April 2011

sok mario teguh

Kadang dunia ini terasa tidak adil.
Tapi saya yakin, Tuhan memang berikan sesuatu bukan tanpa alasan. PemberianNya selalu pada proporsi yang sesuai. Semua tidak ada yang abadi. Tidak ada yang selamanya dibawah dan tidak ada yang selamanya diatas. Akan terasa sangat menyiksa jika terus mempertanyakan 'mengapa begini dan mengapa mereka begitu?.'

Sudahlah.. kita punya jalan hidup masing-masing. Rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau. Tapi jangan habiskan waktu hanya untuk merenungi rumput tetangga. Rumput tidak berubah hanya dengan direnungi.

Singkat kata.. your life is yours and my life is mine.

Minggu, 10 April 2011

my best

Women that i love so much is my mother.
something that i want to do for her is make no tear in her days.
God bless you Mom, Retno Efimada,  my father Suripto and my old-sister Wati Shaka Mada.

not for anyone

Dasar kotak usang!
Setelah memberesi mu, ku biarkan kamu membatu di gudang yang usang pula.
Kemudian aku pergi, kamu hanya akan melihat punggung ku yang mengecil karena termakan jarak.
Jejak hilang, hari mulai gelap. Membuka matapun enggan.
Tuhan… semoga saya sedang bermimpi!

Sabtu, 26 Maret 2011

no title

Dia: Yang fana adalah waktu. Kita abadi kawan. Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi yang fana adalah waktu bukan?”, tanyamu. Kita abadi.

Aku: Kita abadi karena aku dan kamu. Jika hanya seorang aku tidak akan abadi.

Dia: Aku bisa abadi jika aku memiliki ‘eksistensi’. Dan aku akan rapuh jika tidak memiliki ‘eksistensi’. Siapa yang dapat menangkap eksistensi ku? Ya orang lain. Hmm… boleh juga.

Aku: Ya, eksistensi. Eksistensi yang mengandung kesan berarti bisa dijadikan alasan untuk selalu dikenang kemudian abadi.

Sabtu, 19 Maret 2011

di tempat dimana orang bekerja cuma pake celana dalam

Tidak pernah terbesit sekalipun di benak saya, ada pekerjaan yang bersentuhan dengan air selain pasukan katak, nelayan, nahkoda, dan pemberi makan ikan di seaworld. Ternyata ada sebuah pekerjaan yang sangat dekat dengan air, yaitu penambang pasir.
Hunting foto hari ini (06/03) bersama teman-teman fotografi UKM Kesenian, di sungai area penambangan pasir, desa Ambulu, saya menyaksikan secara langsung proses penambangan pasir. Ketika pertama kali tali tiba di tempat, terlihat truk-truk diesel pengangkut pasir berseliweran melewati jalan sempit dan becek yang di kiri dan kanannya terdapat pohon bambu.
Saya sempat tidak nyaman dengan pemandangan yang ada, karena para penambang pasir disini berbusana minim saat “beraksi” di sungai. Keseluruhan penambang adalah seorang pria dewasa yang kira-kira sebagian besar dari mereka sudah berkeluarga, mungkin hanya beberapa saja dari mereka yang masih bujang. Dari perasaan yang tidak nyaman itu, saya tidak langsung bergegas jeprat-jepret, kemudian saya mencoba berbincang dengan seorang pria paruh baya yang sedang duduk di tepi sungai, ia berpakaian lengkap tidak seperti penambang yang sedang “beraksi”. 
“Lho bapak tidak kerja to?”, saya membuka dialog.
“Lagi istirahat mbak”, jawabnya singkat.
Kemudian rasa tidak nyaman perlahan hilang dan saya beranjak dari tempat ngobrol dengan pria paruh baya tersebut.
Sebagian dari mereka merasa tidak nyaman dengan keberadaan kami, mereka sempat mengira kami adalah intel yang menyamar, wartawan dan beberapa macam kecurigaan lain. Kecurigaan mereka cukup beralasan, karena dalam rutinitas proses kerja tidak pernah dihampiri beberapa gerombolan anak muda membawa kamera. Setelah kami meluruskan bahwa kami mahasiswa UNEJ, mereka mulai bisa menerima keberadaan kami.
Mereka tidak sedang bermain air di sungai..
Mereka memang tampak seperti anak kecil yang sedang bermain di sungai, dengan hanya mengenakan celana dalam dan terkadang mereka terlihat sedang bercanda dengan pekerja yang lain untuk sekedar melepas penat. Alasan mereka hanya memakai celana dalam adalah agar tidak “berat” saat menyelam, bila sulit membayangkan deskripsi saya tentang penampilan penambang yang sedang bekerja, tonton saja film The God Must be Crazy, penampilan mereka tidak beda jauh, yang membedakan adalah dalam film bersetting di gurun Kalahari di Afrika yang panas, sedangkan para penambang berada di sungai dengan dibumbui terik matahari.
Mereka tidak sedang bermain, mereka sedang bekerja. Dengan membawa benda seperti timba dari seng yang permukaannya dilubangi agar air bisa terpisah dari pasir yang berhasil diambil. Timba dari seng untuk mengambil rupiah dari dasar sungai.
Perut six-pack tanpa fitness..
Perawakan penambang kekar, terdapat six-pack di perut dan berkulit legam. Bagaimana tidak, mereka bekerja di bawah terik matahari  dan dengan mengandalkan kemampuan menyelam. Mungkin banyak pekerjaan yang harus berjibaku dengan terik matahari dan air, tetapi para penambang harus bertarung melawan derasnya arus sungai, menyelam ke dasar sungai yang berwarna coklat pekat keruh untuk mengambil pasir, mengangkatnya menuju tepi sungai, menaiki tangga untuk mencapai bagian belakang truk kemudian menumpahkan pasir ke dalamnya. Proses tersebut dilakukan terus menerus setiap hari, dari jam 6 pagi hingga menjelang ashar.
Mereka menyeletuk..
Mereka bekerja dan saya memotret. Ditengah-tengah proses pengambangan pasir, mereka sesekali bercanda satu sama lain. Salah satu dari mereka menyeletuk “Nduk..ayo kene tak pek mantu”, saya hanya tersenyum tanpa membalas pernyataan mereka. Adapula yang menyeletuk “Nduk kok nyenengne eram to? Ngene iki wes sepet nyawang bojo ndek omah” timpal salah seorang penambang lain. Lagi –lagi saya hanya membiarkan celetukan itu berlalu.

bersambung....